Beranda | Artikel
AL-QURAN YANG KITA BACA ADALAH MAKHLUK MENURUT ASYAIROH (Bagian Pertama)
Selasa, 11 Juli 2017

Aqidah ahlus sunnah wal jamaah tentang al-Qur’an sangatlah jelas, bahwasanya Al-Qur’an adalah firman Allah, lafal-lafalnya dari Allah, dan merupakan kalamullah. Allah berbicara dengan suara yang bisa didengar, sebagaimana didengar oleh para malaikat dan juga didengar oleh para Nabi. Diantaranya didengar oleh Nabi Musa sehingga Nabi Musa digelari dengan Kaliimullah (yang diajak berbicara dengan Allah). Jadi Allah berbicara dengan siapa yang Allah kehendaki, dengan bahasa apa saja yang Allah kehendaki dan dengan topik apa saja yang Allah kehendaki serta kapan saja Allah kehendaki. Akan tetapi tentunya firman Allah tidak seperti kalam makhluk, suara Allah tidak seperti suara makhluk, sebagaimana dzat Allah tidak seperti dzat makhluk.

Inilah yang dipahami oleh orang-orang awam kaum muslimin di tanah air. Semuanya berkata “Mari kita mendengarkan pembacaan firman Allah”. Demikian juga mereka tatkala membaca al-Qur’an mereka berkata, “Allah berfirman”. Tentunya maksud mereka adalah firman Allah secara hakikat dan sesungguhnya. Tidak ada yang berkata (apalagi memahami) bahwa yang dimaksud adalah firman Allah majazi hanya ungkapan dari bahasa jiwa Allah !!. Saya rasa orang-orang awam malah tidak pernah mendengar hal yang seperti ini.

(Insya Allah ucapan-ucapan para salaf yang menjelaskan aqidah ahlus sunnah tentang al-Qr’an adalah firman Allah akan saya nukilkan di artikel selanjutnya)

Jika ada sesuatu yang menyimpang maka mau tidak mau harus diluruskan. Diantaranya keyakinan Asya’iroh bahwasanya al-Qur’an yang kita baca ini bukanlah firman Allah hakiki, bukanlah sifat Allah, akan tetapi hanyalah ibarat atau ungkapan dari firman Allah yang hakiki. Hal ini perlu dibahas kembali sebagai pembahasan ilmiyah mengingat masih ada orang yang mengaku berpemahaman asya’iroh tapi kurang faham dengan aqidah asya’iroh.

Berikut kesimpulan aqidah al-Asyaairoh tentang al-Qur’an :

Pertama : Allah memiliki sifat berbicara/kalam, akan tetapi kalam Allah adalah bahasa jiwa yang ada di dzat Allah. Inilah yang disebut dengan kalam nafsi

Kedua : Kalam nafsi adalah tanpa suara dan tanpa huruf, tentunya tanpa bahasa

Ketiga : Nah kalam nafsi ini (yang tanpa huruf dan bahasa) jika diungkapkan (diibaratkan) dengan bahasa Arab maka jadilah al-Qur’an, jika diungkapkan dengan bahasa Ibrani maka jadilah taurat dan jika diungkapkan dengan siryani maka jadilah injil. Maka sebenarnya Taurat, Injil, dan Al-Qur’an adalah ibarat/ungkapan dari perkara yang sama yaitu dari kalam nafsi.

Keempat : Karenanya al-Qur’an yang kita baca ini bukanlah firman Allah yang hakiki tapi hanyalah ibarat atau ungkapan atau isyarat dari kalam nafsi. Karena firman Allah yang hakiki adalah kalam nafsi. Meskipun Al-Qur’an terkadang dinamakan dengan firman Allah atau kalamullah tapi hanyalah penamaan majazi dan bukan secara hakikat.

Kelima : Jika Al-Qur’an adalah bukan firman Allah hakiki lantas ibaratnya (lafal-lafal dalam al-Qur’an yang kita baca) dari siapa?, maka ada tiga pendapat di kalangan para asyairoh.

    Ada yang mengatakan bahwa ibarat tersebut diciptakan oleh Allah dan diletakan di al-lauh al-mahfuz, dan in adalah pendapat al-Baajuri
    Ada yang mengatakan bahwa ibarat tersebut dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana ibarat Taurat dari Musa, dan ibarat Injil dari Isa. Dan ini adalah pendapat Al-Baaqillaani
    Ada yang berpendapat bahwa ibaratnya dari Jibril ‘alaihis salaam (dan pendapat ini disebutkan oleh Ar-Raazi)

Keenam : Dari sini para ulama asyairoh sepakat dengan mu’tazilah bahwa al-Qur’an adalah makhluk ciptaan Allah, dan bukan sifat yang tegak di zat Allah (bukan sifat yang ada pada diri Allah), karena makhluk tidak boleh berada di zat Allah.

Ketujuh : Karenanya akhirnya kaum Liberal dengan tafsir Hermeneutika berdalil dengan aqidah Asya’iroh untuk melegalkan metode tafsir kontekstual mereka (yaitu Hermeneutika) dengan dalih bahwa al-Qur’an bukan lah firman Allah karena Allah tidak berbicara dengan bahwasa Arab, maka kita jangan terpaku dengan tekstual Al-Qur’an yang merupakan produk Muhammad. Jadi kaum liberal memilih pendapat al-Baqqilaani bahwa al-Qur’an itu ibaratnya dari Muhammad.

 

Berikut nukilan-nukilan dari ulama Asyaairoh yang menjelaskan poin-poin di atas disertai sedikit komentar :

 

PERTAMA : Nukilan tentang hakikat aqidah Asyairoh

Al-Baaqillani berkata :

ويجب أن يعلم أن الكلام الحقيقي هو المعنى الموجود في النفس، لكن جعل عليه أمارات تدل عليه

“Dan wajib untuk diketahui bahwasanya kalam Allah yang hakiki adalah makna yang terdapat pada jiwa, akan tetapi Allah menjadikan adanya tanda-tanda yang menunjukkan kepada makna tersebut” (Al-Insoof hal 101)

Komentar : Jadi menurut Asyairoh kalam nafsi itulah firman Allah yang hakiki, adapun al-Qur’an adalah firman Allah yang majazi.

Apa yang dimaksud dengan kalam nafsi ?

Al-Juwaini berkata :

وذهب أهل الحق إلى إثبات الكلام القائم بالنفس وهو الفكر الذي يدور في الخلد، وتدل عليه العبارات تارة وما يصطلح عليه من الإشارات ونحوها أخرى

“Dan  ahlul hak menetapkan adanya kalam nafsi, yaitu fikiran yang berputar di dalam jiwa, yang ditunjukan terkadang dengan ibarat/ungkapan, atau terkadang dengan isyarat-isyarat dan yang semisalnya” (Al-Irsyaad hal 105)

Komentar : Jadi menurut Asyairoh bahwa Kalam nafsi itu seperti sesuatu makna yang ada di hati, nah al-Qur’an itu hanyalah ungkapan dari bahasa jiwa tersebut

Al-Baaqillaani juga berkata

ويجب أن يعلم أن الله تعالى لا يتصف كلامه القديم بالحروف والأصوات ولا شيء من صفات الخلق، وأنه تعالى لا يفتقر في كلامه إلى مخارج وأدوات

“Dan wajib diketahui bahwasanya kalam (firman) Allah yang qodim tidak disifati dengan huruf dan suara, dan tidak juga sesuatu apapun dari sifat-sifat makhluk, dan bahwasanya Allah dalam firmanNya tidak membutuhkan tempat keluar suara dan alat-alat“ (Al-Insoof hal 104)

Komentar : Jadi menurut Asyairoh firman Allah itu tanpa suara dan huruf serta bahasa, karena itu adalah sifat-sifat makhluk. Karenanya jelas bahwa al-Qur’an yang berisi huruf dan bahasa adalah makhluk

Ibnu Hajar menukil pendapat-pendapat tentang kalaamullah beliau berkata :

وَقَالَتِ الْأَشَاعِرَةُ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِحَرْفٍ وَلَا صَوْتٍ وَأَثْبَتَتِ الْكَلَامَ النَّفْسِيَّ وَحَقِيقَتُهُ مَعْنًى قَائِمٌ بِالنَّفْسِ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ عَنْهُ الْعِبَارَةُ كَالْعَرَبِيَّةِ وَالْعَجَمِيَّةِ وَاخْتِلَافُهَا لَا يَدُلُّ عَلَى اخْتِلَافِ الْمُعَبَّرِ عَنْهُ وَالْكَلَامُ النَّفْسِيُّ هُوَ ذَلِكَ الْمُعَبَّرُ

“Dan Aysairoh berkata bahwasasanya firman/kalaam Allah tidaklah dengan huruf dan suara, dan mereka menetapkan adanya kalam nafsi. Dan hakikatnya adalah suatu makna yang tegak/berada di dzat/diri Allah, meskipun ibarat-ibarat (yang mengungkapkannya) berbeda-beda, seperti diungkapkan dengan bahasa Arab atau bahasa ‘ajam (selain Arab) maka perbedaan tersebut tidaklah menunjukkan adanya perbedaan dari yang diungkapkan. Dan yang diungkapkan tersebut adalah kalaam nafsi” (Fathul Baari 13/460)

Komentar : Jadi menurut Asyairoh Al-Qur’an dan At-Taurot, dan Al-Injil sama-sama mengungkapkan hal yang sama yaitu kalam nafsi. Atau bahasa kasarannya al-Qur’an, At-Taurot dan Al-Injil adalah terjemahan dari kalam nafsi. Karena kalam nafsi tanpa bahasa dan huruf.

KEDUA : Nukilan bahwa Asyairoh mengakui al-Qur’an (yang kita baca) adalah makhluk bukan sifat Allah

Al-Baajuuri berkata :

ومذهب أهل السنة أن القرآن الكريم –بمعنى الكلام النفسي- ليس بمخلوق، وأما القرآن –بمعنى اللفظ الذي نقرؤه- فهو مخلوق. لكنه يمتنع أن يقال : القرآن مخلوق، ويراد به اللفظ الذي نقرؤه إلا في مقام التعليم، لأنه ربما أوهم أن القرآن –بمعنى الكلام النفسي- مخلوق

“Dan madzhab Ahlus Sunnah bahwasanya Al-Qur’an Al-Kariim –maksudnya yaitu kalam nafsi- bukanlah makhluq. Adapun al-Qur’an –yaitu lafal yang kita baca- maka adalah makhluk. Akan tetapi tidak boleh dikatakan bahwasanya al-Qur’an makhluk dan dimaksudkan adalah lafal yang kita baca kecuali dalam pengajaran. Karena bisa jadi bisa disangka bahwasanya al-Qur’an –yaitu kalam nafsi- adalah makhluk” (Syarh Jauharat At-Tauhiid 173)

Jadi : Al-Qur’an adalah makhluk menurut asyairoh, tapi tidak boleh dijelaskan secara terang-terangan kepada orang awam dikawatirkan mereka salah paham, sehingga mengira al-qur’an adalah kalam nafsi yang disangka makhluk. Hanya boleh dijelaskan terang-terangan tatkala dalam pengajaran agar tidak disalah pahami.
 

KETIGA : Nukilan bahwa Asyairoh sepakat dengan Muktazilah dan tidak mengingkari mereka dalam perihal Al-Qur’an adalah Makhluk

Pertama : Al-Juawaini berkata

واعلموا بعدها أن الكلام مع المعتزلة وسائر المخالفين في هذه المسألة يتعلق بالنفي والإثبات، فإن ما أثبتوه وقدَّروه كلاما، فهو في نفسه ثابت، … فإن معنى قولهم “هذه العبارات كلام الله” أنها خَلْقُه ونحن لا ننكر أنها خلق الله، ولكن نمتنع من تسمية خالق الكلام متكلما به، فقد أطبقنا على المعنى وتنازعنا بعد الاتفاق في تسميته

“Ketahuilah setelah ini bahwasanya pembicaraan bersama Mu’tazilah dan para penyelisih yang lainnya dalam permasalahan ini berkaitan dengan penafian dan penetapan. Karena sesungguhnya apa yang mereka tetapkan dan mereka anggap sebagai kalaam (sifat berbicara Allah) maka sifat tersebut secara dzatnya ada….

Sesungguhnya makna perkataan mereka (Mu’tazilah) : “Ibarat-ibarat ini (lafal-lafal Al-Qur’an-pen) adalah firman Allah” yaitu adalah makhluk (ciptaan) Allah. Dan kami (Asyaa’iroh-pen) tidaklah mengingkari bahwasanya ibarat-ibarat tersebut adalah makhluk Allah, akan tetapi kami tidak mau menamakan Pencipta Al-Kalam berbicara dengan kalam tersebut. Maka kita telah sepakat dalam makna dan kita berselisih –setelah kesepakatan kita- dalam hal penamaan” (Al-Irsyaad Ilaa Qowaathi’il Adillah fi Ushuul Al-I’tiqood 116-117)

Komentar : Jadi Asyairoh tidak mengingkari pernyataan mu’tazilah bahwa al-Qur’an adalah makhluk

Kedua : Asy-Syahristani berkata  :

وخصومنا لو وافقونا على أن الكلام في الشاهد معنى في النفس سوى العبارات القائمة باللسان، وأن الكلام في الغائب معنى قائم بذات الباري تعالى سوى العبارات التي نقرؤها باللسان ونكتبها في المصاحف، لو وافقونا على اتحاد المعنى، لكن لما كان الكلام لفظا مشتركا في الإطلاق لم يتوارد على محل واحد، فإن ما يثبته الخصم كلاماً فالأشعرية تثبته وتوافقه على أنه كثير وأنه محدث مخلوق، وما يثبته الأشعري كلاماً فالخصم ينكره أصلاً

“Kalau seandainya musuh-musuh kami (yaitu Mu’tazilah-pen) sepakat dengan kami tentang bahwasanya al-kalaam (perkataan) yang nampak adalah makna di Dzat selain ibarat-ibarat yang diungkapkan lisan, dan bahwasanya al-kalam (perkataan) yang ada di alam ghaib tegak/berada di Dzat/diri Allah selain ibarat-ibarat yang kita baca dengan lisan kita dan yang kita tulis di mushaf-mushaf, maka tentunya mereka akan bersepakat dengan kita pada kesatuan makna.

Akan tetapi al-kalam adalah lafal yang musytarok (mengandung makna berbilang-pen) dan tidak datang pada satu makna saja, maka apa yang ditetapkan oleh musuh (Mu’tazilah) (yaitu Al-Qur’an-pen) sebagai kalam maka Asya’iroh juga menetapkannya dan sepakat bahwasanya kalam tersebut banyak dan muhdats (baru) serta makhluk.

Dan apa yang ditetapkan oleh Asya’iroh sebagai kalam (sifat kalam nafsi-pen) maka musuh (Mu’tazilah) mengingkarinya”  (Nihaayatul Iqdaam 289)

Ketiga : Al-Buuthi berkata :

أما جماهير المسلمين أهل السنة والجماعة، فقالوا : إننا لا ننكر هذا الذي تقوله المعتزلة، بل نقول به، ونسميه كلاماً لفظياً، ونحن جميعاً متفقون على حدوثه وأنه غير قائم بذاته تعالى، من أجل أنه حادث، ولكنا نثبت أمراً وراء ذلك وهو الصفة القائمة بالنفس والتي يعبّر عنها بالألفاظ وهي غير حقيقة العلم وغير الإرادة، وإنما هي صفة مهيأة لأن يخاطب بها الأخرين على وجه الأمر أو النهي أو الإخبار، تدل عليه الألفاظ وهي صفة قديمة قائمة بذاته تعالى، ضرورة استحالة توارد الخواطر وطروء المعاني عليه كما هو شأن الإنسان، وهذا هو المقصود بإسناد الكلام إلى الله تعالى

“Adapun mayoritas kaum mulsimin Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah (yaitu Asya’iroh-pen) maka mereka berkata : Kami tidak mengingkari apa yang dikatakan oleh Mu’tazilah, bahkan kamipun sependapat, dan kami menamakannya dengan kalam secara lafal. Dan kami semua sepakat bahwa kalam lafal tersebut (yaitu al-Qur’an-pen) adalah sesuatu yang baru, dan ia tidak berdiri di Dzat Allah karena ia adalah hadits (baru). Akan tetapi kami menetapkan suatu perkara dibalik ini semua, yaitu kalam adalah sifat yang berdiri di Dzat Allah yang diungkapkan dengan lafal-lafal” (Kubro Al-Yaqiniyaat Al-Kauniyah 125)

Komentar : Demikianlah bahwa asyairoh membenarkan keyakinan mu’tazilah bahwa al-Qur’an adalah makhluk.

 

KEEMPAT : Nukilan bahwa al-Qur’an itu ibaratnya (lafal-lafal Qur’an yang kita baca) dari Muhammad atau ibaratnya Jibril atau dari ibarat yang diciptakan Allah.

Al-Baqqilaani berpendapat bahwal al-Qur’an ibaratnya dari Nabi Muhammad, beliau berkata :

فأخبر تعالى أنه أرسل موسى عليه السلام إلى بني إسرائيل بلسان عبراني، فأفهم كلام الله القديم القائم بالنفس بالعبرانية، وبعث عيسى عليه السلام بلسان سرياني، فأفهم كلام الله القديم بلسانهم، بعث نبينا صلى الله عليه وسلم بلسان العرب، فأفهم قومه كلام الله القديم القائم بالنفس بكلامهم. فلغة العرب غير لغة العبرانية ولغة السريانية وغيرهما، لكن الكلام القديم القائم بالنفس شيء واحد لا يختلف ولا يتغير

“Maka Allah mengabarkan bahwa Allah mengutus Musa ‘alaihis salam kepada bani Israil dengan bahasa Ibrani, maka Musa memahamkan kalamullah al-Qodim (yang hakiki, yaitu kalam nafsi-pent) kepada kaumnya dengan bahasa ibrani. Dan Allah mengutus Nabi Isa ‘alaihis salam dengan bahasa Siryani. Maka Nabi Isa memahamkan kalamullah (kalam nafsi) kepada kaumnya dengan bahasa Siryani. Dan Allah mengutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan bahasa Arab. Maka Nabi Muhammad memahamkan kalamullah nafsi kepada kaumnya dengan bahasa mereka. Maka bahasa Arab bukanlah bahasa Ibrani, bukan pula bahasa Siryani, dan juga bahasa yang lain. Akan tetapi kalamullah yang qodim dan kalam nafsi ada sesuatu yang satu tidak berbeda dan tidak berubah” (Al-Insoof hal 101-102)

Adapun Ar-Raazi maka beliau menyampaikan pendapat bahwa bisa saja ibaratnya dari Jibril. Beliau berkata :

فإن قيل كيف سمع جبريل كلام الله تعالى، وكلامه ليس من الحروف والأصوات عندكم؟ قلنا يحتمل أن يخلق الله تعالى له سمعا لكلامه ثم أقدره على عبارة يعبر بها عن ذلك الكلام القديم

“Kalau ada yang bertanya : Bagaimana Jibril mendengar kalamullah, sementara kalamullah tidak ada huruf dan suaranya menurut kalian?. Maka kami jawab : Bisa jadi Allah menciptakan bagi jibril pendengaran untuk mendengar kalamNya lalu Allah menjadikan Jibril mampu untuk memiliki ibarat untuk mengungkapkan kalamullah yang qodim tersebut” (Mafaatiihul Goib 2/277)

Adapun al-Baajuuri maka beliau berpendapat bahwa lafal-lafal al-Qur’an adalah ciptaan Allah yang Allah ciptakan lalu Allah letakan di al-Lauh Al-Mahfuuz. Beliau berkata :

وهو الذي خلقه الله تعالى أولاً في اللوح المحفوظ، ثم أنزله في صحائف إلى سماء الدنيا في محل يقال له “بيت العزة” في ليلة القدر… ثم أنزله على النبي صلى الله عليه وسلم مفرقاً بحسب الوقائع

“Dan al-Qur’an adalah  yang telah menciptakan pertama kali di al-Lauh al-Mahfuuz lalu Allah turunkan di lembaran-lembaran di langit dunia di suatu tempat yang disebut dengan baitul ‘izzah dai malam lailatul qodar….

Lalu Allah turunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara terpisah-pisah berdasarkan kejadian dan peristiwa” (Hasyiatul Baajuuri 162)

Bersambung : Bagian kedua (Bantahan terhadap Aqidah Asyairoh bahwa al-Qur’an Makhluk)

Jakarta, 17-10-1438 H / 11-07-2017
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1776-al-qur-an-yang-kita-baca-adalah-makhluk-menurut-asyairoh-bagian-pertama.html